Salah satu masalah gan yang sering kita jumpai..."Limbah".... Saya akan berbagi informati tentang Limbah .. Silahkan dibaca gan semoga bermanfaat
PENDAHULUAN
Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, terminologi pencemaran lingkungan hidup
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
hidup tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.
Untuk mengukur
turunnya kualitas lingkungan tersebut, maka ditetapkanlah Baku Mutu.
Istilah kontaminasi, pada hakikatnya lebih kurang sama dengan terminologi diatas, tetapi kosa kata kontaminasi lebih populer dan sering dipergunakan dalam konteks pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah B3.
Permasalahan limbah B3 dalam konteks
lingkungan hidup di Indonesia menjadi fokus Kementerian Negara
Lingkungan Hidup saat ini. Berbagai aktivitas industri telah menimbulkan
lahan terkontaminasi oleh limbah B3. Kejadian tersebut antara lain
disebabkan oleh adanya pembuangan limbah B3 ke lingkungan walaupun
sesungguhnya Peraturan Perundangan telah mengatur larangan membuang
limbah B3 ke lingkungan.
Beban biaya yang tinggi untuk mengelola
limbah B3 sering menjadi alasan membuang limbah B3 ke lingkungan tanpa
diolah terlebih dahulu.
Pengelolaan limbah B3 diperlukan penanganan
teknis yang lebih ketat. Pengelolaannya diperlakukan dimulai dari limbah
B3 dihasilkan, disimpan sementara, dikumpulkan, diangkut, dimanfaatkan
dan sampai pada pemusnahannya. Semua proses ini memerlukan pengawasan
dalam hal bagaimana memperlakukan limbah B3 tersebut secara teknis. Dan
pada akhirnya akan memberikan beban biaya yang relatif tinggi.
Kecelakaan di dalam proses produksi
dapat menyebabkan terjadinya lahan terkontaminasi. Terjadinya beberapa
kecelakaan di dalam proses produksi sering disebabkan oleh peralatan
yang dinilai telah termakan usia. Semua ini dapat dilihat diberbagai
jenis industri, baik di industri manufaktur dan agro industri maupun di
pertambangan dan migas. Faktor kelalaian manusia telah pula menyebabkan
terjadinya kecelakaan di dalam proses produksi sehingga bahan berbahaya
dan beracun berada di lahan terbuka.
Penanganan lahan terkontaminasi limbah B3 akan menyangkut beberapa aspek antara lain aspek pembiayaan dan aspek teknologi. Illegal dumping, dan
temuan-temuan kasuistis yang disebabkan oleh terjadinya kecelakaan di
dalam proses produksi, dalam penanganannya langsung menunjuk sumber
pencemarnya dengan menerapkan prinsip “Polluters Pay Principle”. Pencemar
yang melakukan penanggulangannya. Semua beban pembiayaan akan menjadi
kewajiban si pencemar. Penanganan lahan terkontaminasi yang disebabkan
oleh sumber pencemarnya yang dapat ditunjuk dengan tegas, maka
penanganan ini yang disebut sebagai kontaminasi sumber institusi.
Akan menjadi lebih berat bagi Pemerintah apabila ditemukan limbah B3
yang sudah menahun di lahan terbuka dan tidak jelas sumber pencemarnya,
maka dengan menganut asas “pengelolaan lingkungan hidup menjadi tanggung
jawab Negara” yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997
yang mengatur tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penanganan lahan
terkontaminasi dari sumber non institusi akan menjadi tanggung jawab
Pemerintah sepenuhnya. Dan ini akan mengandung resiko beban biaya dan
pemilihan teknologi dalam penanganannya.
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) DAN LIMBAH B3
Bahan berbahaya dan beracun (B3) umumnya
digunakan pada sektor industri, pertanian, pertambangan dan rumah
tangga. Penggunaan B3 pada berbagai sektor tersebut juga akan
menghasilkan limbah B3 yang ada di sekitar lingkungan hidup kita dan
memerlukan pengelolaan lebih lanjut. Kandungan limbah B3 terdapat pada
berbagai produk makanan, minuman, konstruksi, elektronik, alat-alat
rumah tangga, kosmetik, kendaraan bermotor, dan sebagainya, bahkan bebas
melayang-layang di udara.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Limbah B3) mempunyai dampak yang relatif besar dan penting terhadap
manusia dan lingkungan sekitarnya. Apabila limbah B3 tidak dikelola
dengan baik, resiko kecelakaan kerja dan pencemaran akan semakin besar.
Pengelolaan Limbah B3 merupakan salah
satu rangkaian kegiatan yanng mencakup penyimpanan, pengumpulan,
pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan
hasil pengolahan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan pelaku pengelolaan
limbah B3 antara lain :
• Penghasil Limbah B3
• Pengumpul Limbah B3
• Pengangkut Limbah B3
• Pemanfaat Limbah B3
• Pengolah Limbah B3
• Penimbun Limbah B3
Dengan demikian, pengawasan dilakukan
sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai penimbunan akhir oleh
pengolah limbah B3, sedangkan perjalanan limbah B3 dikendalikan dengan
sistem manifest berupa dokumen limbah B3.
Banyak industri yang tidak menyadari,
bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam kategori limbah B3, sehingga
dengan mudah limbah dibuang ke sistem perairan tanpa adanya pengolahan.
Pada hakekatnya, pengolahan limbah adalah upaya untuk memisahkan zat
pencemar dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi
zat pencemar yang telah dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat
pencemar yang sudah dipisahkan (konsentrat) belum tertangani dengan
baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya yang setiap saat mengancam
kesehatan dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk itu limbah B3
(termasuk yang masih bersifat potensial) perlu dikelola antara lain
melalui pengolahan limbah B3.
Berikut adalah beberapa tehnik pengolahan limbah B3 (Setiyono, 2002) antara lain :
1. Netralisasi (pengolahan secara kimia)
Proses netralisasi diperlukan apabila
kondisi limbah masih berada di luar baku mutu limbah (pH 6-8), sebab
limbah di luar kondisi tersebut dapat bersifat racun atau korosif.
Netralisasi dilakukan dengan mencampur limbah yang bersifat asam dengan
limbah yang bersifat basa. Pencampuran dilakukan dalam suatu bak
equalisasi atau tangki netralisasi.
Netralisasi dengan bahan kimia dilakukan
dengan menambahkan bahan yang bersifat asam kuat atau basa kuat. Air
limbah yang bersifat asam umumnya dinetralkan dengan larutan kapur
(Ca(OH)2), soda kostik (NaOH) atau natrium karbonat (Na2CO3). Air limbah yang bersifat basa dinetralkan dengan asam kuat seperti asam sulfat (H2SO4), HCI atau dengan memasukkan gas CO2 melalui bagian bawah tangki netralisasi.
2. Pengendapan
Apabila konsentrasi logam berat di dalam
air limbah cukup tinggi, maka logam dapat dipisahkan dari limbah dengan
jalan pengendapan menjadi bentuk hidroksidanya. Hal ini dilakukan
dengan larutan kapur (Ca(OH)2) atau soda kostik (NaOH) dengan
memperhatikan kondisi pH akhir dari larutan. Pengendapan optimal akan
terjadi pada kondisi pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai
kelarutan minimum.
3. Koagulasi dan Flokasi (pengolahan secara kimia)
Digunakan untuk memisahkan padatan
tersuspensi dari cairan jika kecepatan pengendapan secara alami padatan
tersebut lambat atau tidak efisien. Koagulasi dilakukan dengan
menambahkan bahan kimia koagulan ke dalam air limbah. Koagulan yang
sering digunakan adalah tawas (Al2(SO4)3).18H20; FeC13; FeSO4.7H20; dan lain-lain.
4. Evaporasi (penyisihan komponen-komponen yang spesifik)
Evaporasi pada umumnya dilakukan untuk
menguapkan pelarut yang tercampur dalam limbah, sehingga pelarut
terpisah dan dapat diisolasi kembali. Evaporasi didasarkan pada sifat
pelarut yang memiliki titik didih yang berbeda dengan senyawa lainnya.
5. Insinerasi
Insinerator adalah alat untuk membakar
sampah padat, terutama untuk mengolah limbah B3 yang perlu syarat teknis
pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat. Pengolahan secara
insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di
dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Ukuran, desain dan
spesifikasi insinerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik
dan jumlah limbah yang akan diolah. Insinerator dilengkapi dengan alat
pencegah pencemar udara untuk memenuhi standar emisi.
Disamping pengolahan limbah B3, upaya pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
- Pertama, reduksi limbah dengan menyempurnakan penyimpanan bahan baku dalam proses kegiatan proses atau house keeping, substitusi bahan, modifikasi proses, maupun upaya reduksi lainnya.
- Kedua, kegiatan pengemasan dilakukan dengan penyimbolan dan pelabelan yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3 (lihat Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-05/Bapedal/09/1995).
- Ketiga, penyimpanan dapat dilakukan di tempat yang sesuai dengan persyaratan yang berlaku (lihat Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-01l/Bapedal/09/1995).
- Keempat, pengumpulan dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan pada ketentuan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-01/Bapedal/09/1995 yang menitikberatkan pada ketentuan tentang karakteristik limbah, fasilitas laboratorium, perlengkapan penanggulangan kecelakaan, maupun lokasi.
- Kelima, kegiatan pengangkutan selayaknya dilengkapi dengan dokumen pengangkutan (manifest) dan ketentuan teknis pengangkutan.
- Keenam, upaya pemanfaatan dapat dilakukan melalui kegiatan daur ulang (recycle), perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) limbah B3 yang dlihasilkan ataupun bentuk pemanfaatan lainnya.
- Ketujuh, pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi, clan solidifikasi secara fisika, kimia, maupun biologi dengan cara teknologi bersih atau ramah lingkungan.
- Kedelapan, kegiatan penimbunan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999.
Berbagai upaya dan tahapan pengelolaan
limbah B3 secara teknis tersebut ditempuh melalui instrumen atau
perangkat perizinan pengelolaan limbah B3. Saat ini, kewenangan untuk
menerbitkan izin pengelolaan limbah B3 adalah Pusat (Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, dan instansi teknis terkait).
KONTAMINASI & LIMBAH B3
Kegiatan penanganan kontaminasi lahan
atau remediasi adalah merupakan upaya pemulihan kualitas media
lingkungan baik media tanah, pesisir dan perairan akibat terkontaminasi
bahan dan limbah berbahaya dan beracun (B3 dan Limbah B3).
Kegiatan ini
memiliki ciri khas dan karakteristik yang spesifik yaitu kegiatannya
bersifat relatif lama (jangka waktu relatif panjang) dan memerlukan
biaya yang relatif besar. Sejak tahun 2005 hingga saat ini, Deputi
Pengelolaan B3 dan Limbah B3, KLH melalui Asdep Urusan Pemulihan
Kualitas Lingkungan terus menaruh perhatian terhadap penanganan
kontaminasi limbah B3.
Sampai dengan tahun 2006 telah dilakukan
penanganan media lingkungan seluas ± 11,97 hektar dengan volume sebesar ±
9.200,93 ton di 13 lokasi media terkontaminasi limbah B3. Data KLH
Tahun 2006 menyebutkan bahwa hasil pengawasan melalui program penaatan
perusahaan (PROPER) sebesar 6.932.687,62 ton limbah B3 dihasilkan dari
industri sektor pertambangan, energi, dan migas (PEM), serta sektor
manufaktur dan agroindustri.
Dari jumlah tersebut sebanyak 83.5% telah
dikelola sedangkan sisanya sebanyak 16.5% belum dikelola. Masih
tingginya angka limbah B3 yang belum dikelola disebabkan karena beban
biaya yang relatif tinggi untuk mengelola limbah B3 sehingga hal
tersebut tentunya berpotensi menimbulkan kontaminasi limbah B3 terhadap
media lingkungan.
Apabila kita bandingkan dengan kondisi
di Amerika Serikat, berdasarkan data statistik setiap tahunnya di
Amerika Serikat terdapat 1300 – 1400 ”contaminated site”, namun dalam penanganannya di Amerika Serikat menggunakan instrumen ”super funds” (dana standby/siap
pakai untuk pemulihan lingkungan), sehingga upaya proses pemulihannya
dapat berlangsung cepat dan tepat, tanpa menunggu ditemukannya
penanggung jawab terhadap ”contaminated site” tersebut.
Kondisi ini sangat berbeda dengan di Indonesia, sehingga untuk berbagai kasus ”illegal dumping”
B3 dan limbah B3 yang terjadi, upaya pertama yang sangat penting
dilakukan adalah menemukan penanggung jawab aktivitas illegal tersebut.
Konsekuensinya adalah, upaya penanganan kontaminasi tidak dapat
dilakukan cepat dan tepat, sementara eksposure terhadap lingkungan terus berlangsung. Oleh karena itu, asas yang dianut undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah strict liability (tanggung jawab mutlak), sebagaimana tertulis dalam pasal 35 ayat 1.
Untuk mengantisipasi komplikasi permasalahan tersebut, sudah saatnya diperlukan kebijakan ataupun policy
yang mendorong adanya instrumen yang dapat berfungsi sebagai penjamin
atau garansi, apabila terjadi kontaminasi B3 dan limbah B3, atau
tepatnya semacam environmental insurance. Sebagaimana diuraikan
diatas, bahwa upaya penanganan kontaminasi yang dilakukan untuk
pemulihan lingkungan, memerlukan jangka waktu yang panjang dan cost yang
relatif besar. Sehingga, dengan demikian apabila terjadi kontaminasi,
maka upaya penanganannnya dapat berlangsung dengan cepat dan tepat, dan
lingkungan dapat terjaga dengan baik.
PENANGANAN CLEAN-UP (PEMULIHAN)
PADA LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH B3
1. Tahapan Penanganan Lahan
Dalam melakukan penangan lahan terkontaminasi limbah B3 prinsipnya “Polluter Pay Principle”
atau pencemar yang akan membiayai pelaksanaan kegiatan mulai dari
clean-up lahan terkontaminasi dan pengelolaan tanah terkontaminasi.
Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan untuk melakukan penanganan lahan terkontaminasi tersebut :
a. Perencanaan
Pada perencanaan penanganan lahan
terkontaminasi dibahas secara terperinci mengenai
penyebab, luas dan
prakiraan volume (limbah B3 dan tanah terkontaminasi), pemetaan, tahapan
penanganan, pengambilan sampel, tingkat keberhasilan clean-up, pengelolaan limbah B3 dan tanah
terkontaminasi disepakati oleh pencemar dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
b. Penanganan/pelaksanaan
Pada saat penanganan mengacu kepada
dokumen perencanaan yang disampaikan kepada KLH .
Pelaksanaan dilakukan
oleh Pejabat Pengawas yang ditugaskan oleh Institusi yang menangani
Lingkungan Hidup.
c. Evaluasi
Dalam melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan dilakukan berdasarkan pemenuhan :
1) Penanganan Clean-up lahan
terkontaminasi, untuk menyatakan tingkat keberhasilan yang
mengacu kepada data laboratorium dan pakar jika diperlukan untuk kepastian
sesuai dengan
bidangnya.
2) Pengelolaan Limbah B3 dan Tanah
Terkontaminasi, untuk mengetahui bahwa limbah B3 dan
tanah terkontaminasi memenuhi peraturan perundangan pengelolaan limbah B3.
d. Pemantauan
Pemantauan diwajibkan kepada pihak yang
melakukan kegiatan selama minimal 1 (satu)
tahun setiap 6 (enam) bulan
untuk dikeluarkan surat pernyataan dari KLH, yaitu Surat Status
Penyelesaian Lahan Terkontaminasi (SSPLT).
2 . Evaluasi dan Pemantuan
a. Data Penanganan Lahan Terkontaminasi
Diitampilkan beberapa data berupa gambar dan tabel beberapa jenis tampilan yang
menggambarkan :
1) Gambar luas lahan terkontaminasi dan sumber industri yang menyebabkan terjadinya lahan
terkontaminasi;
2) Gambar volume limbah B3 dan tanah terkontaminasi dari sumber industri yang
menyebabkan terjadinya lahan terkontaminasi;
3) Tabel luas lokasi penanganan lahan terkontaminasi yang terjadi di beberapa provinsi;
4) Gambar lokasi terjadinya/peruntukan lahan tempat terjadinya lahan terkontaminasi.
b. Penyebab Kejadian
Kegiatan usaha/industri dalam melakukan
aktivitas pengumpulan, penyimpanan, pengang
kutan, pemanfaatan dan
pengolahan limbah B3 tidak terhindar dari adanya ceceran, bocoran dan
kecelakaan, yang akan sampai kepada media lingkungan khususnya lahan dan
mengakibatkan
tercemarnya lahan oleh limbah B3.
Dari kasus penanganan lahan
terkontaminasi, kejadian kecelakaan yang sering dijumpai
adalah di
Industri Migas. Kecelakaan berasal dari semburan pemeliharaan sumur
minyak tua,
kebocoran pipa distribusi crude oil dan kecelakaan robeknya house Single Souring Mouy (SBM).
Berdasarkan hasil temuan lapangan PROPER, kontaminasi terjadi berasal dari
antara lain sludge pond industri Migas, landfill pada kegiatan industri Manufaktur
dan Agro Industri.
Untuk kasus illegal dumping
ditemukan pada kegiatan Industri Tekstil dan Industri Jasa
Pengolahan
Limbah B3 seperti yang terjadi di Bekasi, Tangerang, Kabupaten Bogor dan
Batam.
c. Clean-up Lahan Terkontaminasi
Dalam penanganan lahan terkontaminasi
langkah awal melakukan pemetaan area
terkontaminasi memerlukan
data-data tambahan antara lain :
1) Topografi;
2) Permeabilitas, porositas;
3) Jenis tanah dan kualitas;
4) Hydrogeologi;
5) Peruntukan lahan;
6) Keadaan lingkungan sekitar seperti lokasi permukiman, kawasan lindung sumber air.
Setelah dapat dipastikan area lokasi
lahan terkontaminasi maka dilanjutkan dengan
mengetahui seberapa jauh
sebaran dan kedalaman “kontaminan” pada lahan tersebut. Dengan data
pengukuran dan laboratorium tersebut maka dapat diketahui luas dan
volume limbah B3 dan tanah
terkontaminasi. Kemudian tahap selanjutnya
melakukan pengelolaan limbah B3 dan tanah terkon
taminasi, pengolahan
secara in-situ atau eksitu.
Proses (tahapan) clean-up dinyatakan
berhasil jika telah memenuhi tingkat keberhasilan
yang di tentukan
antara lain oleh: titik referensi, acuan (baku mutu) standart dan risk base
screening level
(RBSL). Jika belum tercapai tingkat keberhasilan maka tahapan
pembersihan
dilanjutkan kembali, sampai memenuhi tingkat
keberhasilannya.
d. Waktu Penanganan
Penanganan lahan terkontaminasi umumnya
memerlukan waktu cukup lama dari
6 (enam) bulan bahkan ada yang sampai 3
(tiga) tahun untuk lahan terkontaminasi yang cukup luas
dan kontaminan
sudah menjalar ke air tanah. Selain itu tahapan yang harus dilakukan
memerlukan
evaluasi yang dinamis dan biaya yang cukup besar.
JENIS- JENIS LIMBAH DAN SUMBER INDUSTRI
PADA LAHAN TERKONTAMINASI
Beberapa pelaksanaan penanganan lahan
terkontaminasi limbah B3 menurut jenis dan sumber industrinya dapat
dilihat pada Tabel 6.1. :
Tabel 6.1. Jenis Limbah dan Sumber Industri
No | Jenis Limbah | Sumber Industri |
1 | Nikel Sludge dari Industri Otomotive | Automotif |
2 | Cooper Slag | Pengolahan Limbah B3 |
3 | Catalis | Industri Besi dan Baja |
4 | Industri Pengolahan Limbah B3 | Industri Pengolahan Limbah B3 |
5 | Industri Tekstil | Tekstil |
6 | Industri Polymer | Polymer |
7 | Crude Oil | Unit Pengolahan Eksplorasi Produksi (EP) |
8 | Sludge Oil | EP |
9 | Oil base mud | EP |
10 | Centrat | Drillimg Mud |
11 | Kegiatan Pengeboran Panas Bumi | Panas Bumi |
12 | Baterai Bekas | Baterai |
13 | Acid Sludge | Unit Pengolahan Migas |
14 | Dregg an Gridd | Pulp & Paper |
15 | Humic and Gyps | Makanan |
Secara umum penanganan lahan
terkontaminasi terhadap Perusahaan yang ada di Sumatera dari tahun 2005
sampai dengan 2008 dapat dilihat pada Tabel 6.2. :
Tabel 6.2. Penanganan Lahan Terkontaminasi di Sumatera Tahun 2005 – 2008
Propinsi | Sumber | Jenis Limbah | Luas (m2) | Volume (m3) | Keterangan | Mulai | Selesai |
Riau | PT. Chevron Indonesia (Darling, Pekanbaru) | Sludge Oil | 200,000 | 1,000,000 | Belum | 2007 | |
PT. Chevron Indonesia (Minas, Pekanbaru) | Sludge Oil | 1,000,000 | 1,000,000 | Belum | 2008 | ||
PT. Medco | Sludge Oil | 120 | 7,2 | Belum | 2008 | ||
Lampung | PT. Miwon Indonesia | Humic dan Gypsum | 350,000 | 18,000 | 2005 | ||
Sumatera Selatan | PT. Pertamina EP | Crude Oil | 3,900 | 3,000 | Selesai | 2005 | 2007 |
PT. Tanjung Enim Lestari | Dregs dan Grids | 3,025 | 8,830 | 2007 | 2008 | ||
Kepulauan Riau | PT. Adpel | Cooper Slag | 12,000 | 50 | Selesai | 2005 | 2006 |
PT. Primanru | Cooper Slag | 224 | 2,230 | Selesai | 2007 | 2007 |
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PENANGANAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH B3
1. Tahapan Alur Penanganan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
Untuk penanganan lahan terkontaminasi ada beberapa tahapan alur penanganan terhadap media yang terkontaminasi limbah B3, yaitu :
1. Identifikasi Lahan terkontaminasi dapat bersumber dari :
- Pengadaan/laporan masyarakat.
- Informasi dari Asiten Deputi Pertambangan Energi dan Migas.
- Informasi dari Asisten Deputi Manufaktur dan Agro Industri.
- Informasi dari Deputi Penegakan Hukum.
- Dan Informasi dari pihak lain yang dapat dipertangunggjawabkan.
- Apabila lahan terbukti terkontaminasi limbah B3 maka akan segera dilakukan penanganan sesuai dengan kondisi dan ketetuan yang berlaku serta berkoordinasi dengan instansi yang terkait dan pihak yang bertanggung jawab. Apabila tidak terbukti terkontaminasi limbah B3 maka akan langsung dianggap selesai.
- Apabila terbukti maka perlu dipertimbangkan :
*) Beresiko sangat tinggi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup sekitar.
**) Beresiko tinggi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup sekitar.
***) Apabila dibiarkan saja maka akan beresiko terhadap kesehatan manusia
dan lingkungan hidup sekitar.
2. Tahapan-tahapan penanganan Clean-Up :
- Isolasi Lahan
- Pengukuran Luas Lahan
- Pembuatan Peta Administarsi dan peta lokasi lahan terkontaminasi limbah B3
- Sampling I
- Pembuatan peta pengambilan sampel
- Pengukuran volume Limbah B3
- Evaluasi I
- Pengangkatan dan Pengangkutan (Teknologi yang dipakai)
- Sampling II
- Evaluasi II
- Pengawasan (Monitoring)
- Apabila lahan sudah bersih atau sudah tidak terkontaminasi atau kualitas lahan sudah hampir menyamai dengan kondisi awalnya maka akan di buat Surat Status Penyelesaian Lahan Terkontaminasi (SSPLT). Diterbitkannya SSPLT sebagai pernyataan dari KLH Cq Deputi IV bahwa lahan tersebut sudah selesai dilakukan penanganan.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari penanganan lahan terkontaminasi limbah B3 dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa penyebab terjadinya lahan terkontaminasi adalah kecelekaaan, illegal dumping,
dan landfiill. Penanganan lahan terkontaminasi dilakukan terhadap berbagai jenis limbah antara lain
adalah : Sludge IPAL , Crude oil, Acid sludge, drilling mud, centract Mud oil, katalis, copper
slag, Nikel slag, grids dan dregss serta Humic dan Gyps.
2. Kualitas tanah yang sangat bervariasi serta beragamnya jenis limbah industri menjadi salah
satu faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan standar atau baku mutu tanah terkontaminasi
limbah B3. Keberadaan reference ataupun acuan sangat diperlukan dalam penanganan lahan
terkontaminasi limbah B3. Mengingat saat ini baku mutu tanah terkontaminasi yang sudah
dimiliki adalah baku mutu untuk tanah terkontaminasi limbah minyak bumi dan belum ada untuk baku
mutu tanah terkontaminasi akibat limbah kontaminan lainnya, maka acuan yang dipakai sebagai
pengganti baku mutu tanah terkontaminasi akibat limbah lainnya adalah kriteria tanah yang
mengacu pada pengambilan Titik Reference/Background dan
Study Risk Base Screening Level (RBSL).
3. Pada saat ini pemerintah belum memiliki standar atau baku mutu untuk pengelolaan
tanah terkontaminasi limbah B3 dari kegiatan lainnya. Baku mutu pengelolaan limbah B3 yang
sudah ada saat ini adalah Baku mutu total kadar maximum limbah B3 dan Toxicity Charateristic
Leaching Procedure (TCLP) yang ada di Kepdal No.04/09/1995 tentang tatacara persyaratan
penimbunan hasil pegolahan, persyaratan lokasi bekas pengolahan dan lokasi bekas penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun tidak dapat secara otomatis/langsung dijadikan acuan sebagai pengganti baku mutu untuk tanah terkontaminasi limbah B3.
Baku mutu Total Kadar Maximum Limbah B3 dan TCLP yang ada dalam Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No 04 /09/1995 ini tidak bisa mewakili nilai bebas terkontamisi limbah B3. Total kadar maximum limbah B3 adalah baku mutu untuk menentukan apakah suatu limbah B3 termasuk kategori landfill kelas I, II, atau III, sedangkan Uji TCLP adalah uji untuk mengukur kadar/konsentrasi parameter dalam lindi dari limbah B3 dan menunjukkan angka layak tidaknya limbah untuk dilandfil. Dalam penanganan lahan terkontaminasi limbah B3 dari industri, Baku mutu dalam Kepdal No. 04/09/1995 ini hanya digunakan untuk menangani kasus kasus tertentu seperti pengangkatan (clean-up) bunker limbah B3 dari bekas painting sludge dari kegiatan industri otomotif.
2. Saran
Penanganan lahan terkontaminasi masa
mendatang diperlukan pengembangan kebijakan dan
teknologi antara lain :
dana penanggulangan kecelakaan dan clean-up media terkontaminasi
limbah
B3, misalnya super fund, dan dana jaminan kecelakaan akibat limbah B3 seperti
di negara lain, mempersiapkan sistem emergency response
pada penanggulangan kecelakaan pihak
penanggungjawab usaha/kegiatan,
pemulihan lingkungan dan pasca pemulihan kualitas lingkungan, dan
pegembangan teknologi pengolahan lahan terkontaminasi insitu dan eksitu
serta air tanah
yang tercemar limbah B3.